
Saya menulis epilog untuk buku yang sedang Anda baca ini berdasarkan kenangan-kenangan yang samar-samar masih bercokol di otak saya. Saya lupa waktu pasti kapan hal-hal yang saya ingat itu terjadi, tapi hal itu terjadi dan masih saya ingat.
Sekitar tahun 2017. Kala itu saya diajak nongkrong beberapa teman dari Bukuakik di Oxen Free, sebuah kedai minum di dekat Malioboro. Tujuan nongkrong ini adalah menemui JRX, penabuh drum dari band punk asal Bali, Superman Is Dead, yang kebetulan sedang bertandang ke Yogya. Ketika tiba, JRX sudah duduk di satu sudut bersama beberapa orang, salah satunya adalah Mas Dodok, pegiat dan penggiat gerakan Jogja Ora Didol. Beberapa waktu kemudian seseorang yang wajahnya familier datang. Ia adalah Marzuki Mohamad alias Juki alias Kill The DJ, dedengkot grup hip-hop asal Yogya, Jogja Hip Hop Foundation.
Begitu Juki merapat, dengan setengah bercanda setengah serius Mas Dodok langsung berujar “Wah iki Jogja ki wis didol karo Juki” (Wah ini, Jogja ini sudah dijual sama Juki). Juki, dengan mimik muka yang juga setengah bercanda dan setengah serius lalu menjawab ujaran itu: “Buajinggaann.”
Ketika Penerbit Semut Api meminta saya menulis epilog untuk buku Jogja Hip Hop Feodal: Dari Underground hingga Keraton karya Edi Dwi Riyanto ini, memori saya otomatis mencelat ke momen di Oxen Free itu. Ujaran Mas Dodok mengingatkan saya bahwa Jogja Hip Hop Foundation (selanjutnya disebut JHF) adalah grup hip-hop yang menjadi buah bibir karena banyak hal.
Dari yang bersentimen positif seperti bagaimana mereka menjadi garda depan penjaga kelestarian seni dan budaya Jawa dengan cara memadu-padankan hip-hop dan unsur kesenian Jawa, hingga sentimen-sentimen negatif seperti bagaimana JHF dituding sebagai “grup hip-hop Keraton” karena kedekatan mereka dengan Keraton dan Sultan, entitas yang memegang tampuk kekuasaan di Yogyakarta.
Kenapa yang terakhir ini menimbulkan sentimen negatif? Ini karena Keraton dan Sultan dengan kekuasaannya kerap dituding melanggengkan feodalisme, suka menggusur warga—misalnya di Kulon Progo dalam rangka pembangunan Bandara YIA atau pertambangan pasir besi—dan berlindung di balik jargon “keistimewaan Jogja” yang secara legal dipayungi oleh Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Mas Dodok, sudah pasti berujar demikian ya karena kedekatan JHF—atau Juki—dengan Keraton.
Ketika diminta menulis epilog untuk buku ini, perasaan saya juga campur aduk. Di satu sisi saya mengamini ujaran Mas Dodok, dan selama ini menjaga jarak dengan JHF. Saya tidak mau mendengarkan lagu-lagu JHF karena alasan bahwa JHF memang sangat dekat dengan Keraton, dan saya enggan mendengarkan musik dari sebuah grup yang terang-terangan turut serta melanggengkan feodalisme dan penggunaan kekuasaan koersif yang dipraktikkan kuasa terhadap yang papa di akar rumput. Jadinya saya berpikir “untuk apa menulis epilog untuk sebuah buku yang membahas eksistensi JHF?”
Namun, di sisi lain saya juga merasa tertantang untuk menulis tulisan ini karena artinya saya punya satu kesempatan untuk turut mengkritisi JHF, kekuasaan Keraton, dan keistimewaan (semu) Yogyakarta.
Walau risikonya tentu besar. Setelah tulisan ini menyebar, bisa saja saya bernasib sama dengan almarhum George Junus Aditjondro, Akademisi yang dengan gagah berani menyatakan “Keraton Yogyakarta jangan disamakan dengan Kerajaan Inggris, Keraton Yogya hanya sekadar keraton, Keraton itu ya kera ditonton” saat menjadi pembicara di perhelatan bertajuk “Membedah Status Sultan Ground/Pakualaman Ground Dalam Keistimewaan Yogyakarta” di Auditorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada hari Rabu 30 November 2011. Akibat aksinya tersebut, George Junus Aditjondro diusir dari Yogyakarta, bahkan dilaporkan ke polisi oleh kelompok yang menyebut dirinya Forum Masyarakat Yogyakarta (FMY).
Barangkali, setelah membaca tulisan ini, satu atau sekelompok orang bisa saja melontarkan ujaran ke saya: “KTP-mu ngendi, Mas?” (KTP-mu mana, Mas?) atau “Nek ra seneng metuo soko Jogja, Mas!” (Kalau tidak suka keluar saja dari Jogja, Mas!), Ujaran yang kerap dijadikan kartu AS oleh para pembela Keraton untuk membungkam para pengkritik.
Pada akhirnya saya memutuskan untuk mencoba membaca dulu naskah buku ini. Setelah tuntas membaca, saya memutuskan berkenan menulis epilog karena saya menemukan bahwa di dalam bukunya, Edi Dwi Riyanto tidak sedang melakukan glorifikasi terhadap JHF dan keistimewaan (semu) Yogyakarta. Ia memang menceritakan eksistensi JHF dan perjalanan karier JHF dan Juki. Namun, saya menemukan bahwa Edi Dwi Riyanto tetap menjaga jarak dengan subjek yang ditulisnya ini. Bahkan, ia juga memberikan argumen-argumen kritis dalam buku ini.
Dari judulnya saja, kita sudah bisa menemukan argumen kritis Edi Dwi Riyanto. Rasanya mudah sekali menyimpulkan bahwa pemilihan judul “Jogja Hip Hop Feodal” adalah sesuatu yang disengaja oleh Edi, sebagai plesetan dari “Jogja Hip Hop Foundation”. Lalu sub-judul “Dari Underground hingga Keraton” adalah sebuah petanda bahwa JHF berasal dari bawah tanah—yang tak memiliki kuasa—namun sekarang bersanding dengan kuasa (Keraton).
Ketika kemudian membaca isi buku ini, saya menemukan Edi Dwi Riyanto secara runut bisa menjelaskan perjalanan historis dari subjek-subjek yang ia bahas. Mulai dari Keraton Yogyakarta, komunitas hip-hop baik secara global atau nasional maupun level lokal di Yogyakarta, hingga perjalanan JHF itu sendiri. Edi juga menggunakan konsep “modal sosial” Pierre Bourdieu untuk mengupas eksistensi JHF dan Juki.
Ia juga tak luput membahas sejarah musik hip-hop yang sudah subversif sejak dalam pikiran. Jika kita menilik dengan saksama, kita akan menemukan bahwa setali tiga uang dengan jazz, hip-hop lahir atas dasar perlawanan kaum kulit hitam Amerika terhadap penindasan. Jika jazz lahir dari kebun-kebun kapas di daratan Paman Sam saat kaum kulit hitam melawan perbudakan yang dilanggengkan kaum kulit putih, hip-hop lahir dari penolakan kaum kulit hitam African-American terhadap segregasi yang juga dilanggengkan kaum kulit putih Amerika Serikat.
Edi menulis seperti ini: “dukungan eksplisit Sultan terhadap ke-Jawa-an yang ditampilkan JHF menjadi salah satu kunci keberhasilannya… Hal ini mengharuskan kita untuk mempertimbangkan kembali status “pemberontakan” hip hop di Indonesia…. Ada kemungkinan bahwa perjalanan waktu telah melunakkan sisi tajam hip hop.” Bukankah ini sebuah analisis gamblang terhadap hip-hop yang dibawakan JHF? Alih-alih menjadi instrumen pemberontakan dan perlawanan, hip-hop justru digunakan JHF sebagai instrumen yang melanggengkan kekuasaan.
Edi juga menjabarkan peran sentral Marzuki Mohamad alias Juki alias Kill The DJ dalam keberlangsungan hidup JHF. Juki mendapatkan porsi pembahasan yang cukup besar di buku ini. Bahkan kita bisa menyimpulkan bahwa di buku ini, dengan tidak mengecilkan peran personel lainnya, Edi secara implisit menyatakan bahwa JHF adalah buah pikir dari Juki, dan JHF moncer karena label “selebritas” yang melekat pada diri Juki alias Kill The DJ.
Memori saya mencelat lagi ke satu momen. Saya lupa pastinya kapan dan di mana, tapi saya pernah membaca sebuah tulisan yang ditulis oleh Cholil Mahmud, vokalis/gitaris dan frontman grup asal Jakarta, Efek Rumah Kaca. Di dalam tulisannya, Cholil mengulas film Hiphopdiningrat yang dibuat JHF dan dirilis pada 2011 silam. Cholil menyayangkan bahwa ada bagian di film ini yang menjelaskan sejarah perkembangan hip-hop di Indonesia, namun film ini tidak menyebutkan barang satu kali pun tentang grup hip-hop politis legendaris asal Bandung, Homicide. Padahal menurut Cholil, Homicide punya peran sentral dalam perkembangan musik hip-hop di Indonesia.
Di dalam pembacaan pribadi saya, ini tentu ada kaitannya dengan “sentimen personal” Juki dengan dedengkot Homicide, Herry “Ucok” Sutresna. Ya mau bagaimana lagi? Minyak dan air memang tidak akan pernah bisa menyatu. Homicide dikenal sebagai grup hip-hop yang menolak kuasa dalam bentuk apapun, termasuk feodalisme. Wajar jika JHF yang dekat dengan feodalisme berseberangan dengan Homicide. Namun, saya mengamini Cholil dan menyayangkan kenapa sentimen personal ini harus dibawa ke ranah penyebaran ilmu pengetahuan hingga mengecualikan Homicide dalam Hiphopdiningrat.
Kita perlu memahami bahwa sama seperti yang terjadi di tanah kelahirannya di Amerika sana, di mana hip-hop terpecah menjadi kubu-kubu—misalnya kubu west coast dan east coast—yang berseteru dan tidak akur karena perbedaan di tataran ideologi, hip-hop di Indonesia pun juga terpecah-pecah karena alasan yang sangat ideologis: Homicide yang mempertahankan semangat pemberontakan melawan kuasa (termasuk feodalisme) berseberangan dengan JHF yang menghidupi dan mengamini feodalisme di Yogyakarta.
Untuk menutup tulisan ini, saya akan menjelaskan alasan kenapa saya menyelipkan kata “semu” di “keistimewaan Yogyakarta.” Hingga tulisan ini dibuat (Oktober 2024), kita bisa menemukan bahwa ada banyak sekali masalah di Yogyakarta.
Sila baca berita-berita di berbagai media! Kita akan menemukan masalah-masalah itu: Keraton dan Sultan dengan UU Keistimewaan dan Dana Keistimewaan (Danais) yang melimpah masih bertakhta dan berkuasa, Warga di Temon, Kulon Progo terlanjur tergusur dan terusir dan tanah yang mereka miliki telah malih rupa menjadi bandara YIA, warga Kulon Progo yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) masih berjuang melawan penggusuran tanah pertanian mereka dalam rangka pertambangan pasir besi, klitih masih meneror warga Yogya yang keluar malam, sampah-sampah masih bertumpukan di tiap sudut karena pengelolaan sampah yang salah kaprah dan tutupnya TPA Piyungan, dan banyak lagi masalah lain.
Bukankah masalah-masalah itu menandakan bahwa keistimewaan yang dikoar-koarkan selama ini adalah semu belaka?
Akhir kata, selamat kepada Edi Dwi Riyanto atas terbitnya buku ini, selamat membaca untuk kita semua, dan tolong selamatkan diri saya seandainya suatu hari saya kena masalah karena tulisan saya ini!
NB: Ucapan terakhir saya sama seperti Mas Dodok, loh. Setengah bercanda, setengah serius.
Yogyakarta, 10 Oktober 2024.
Catatan: Tulisan ini adalah epilog untuk buku Jogja Hip Hop Feodal: Dari Underground hingga Keraton karya Edi Dwi Riyanto.