
Bagian Pertama: Fenomena Pendengung (Buzzer) di Kehidupan Sosial-Politik Indonesia.
I. Pengaruh Media Sosial dalam Membentuk Opini Publik di Indonesia
1. Peran Media Sosial sebagai Ruang Publik Baru
Internet bukanlah barang baru di Indonesia. Meski popularitasnya mulai merebak di Indonesia pada medio 1990an, secara spesifik ketika IndoNet menjadi ISP komersial pertama yang mulai beroperasi pada tahun 1994, dan mencapai puncaknya pada era 2000an, tercatat bahwa alamat Internet Protocol atau IP (protokol internet) pertama Indonesia adalah UI-NETLAB (192.41.206/24) yang didaftarkan oleh Universitas Indonesia pada 24 Juni 1988. (Baan 2017).
Di era kiwari—periode 2010 hingga sekarang—internet menjadi lebih mudah diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia. Ini bisa terjadi karena semakin murahnya gawai dan ponsel pintar, serta biaya berlangganan internet baik selular maupun jaringan kabel atau satelit.
Internet—atau kerap disebut sebagai dunia maya—menjadi dunia kedua bagi dunia nyata. Dunia maya menjadi tempat masyarakat Indonesia melakukan berbagai hal seperti mencari informasi, atau berjaring dan berinteraksi. Internet telah menjadi kebutuhan pokok, dan sebuah infrastruktur vital karena menyokong banyak sendi-sendi kehidupan manusia Indonesia baik secara politik maupun ekonomi.
Media sosial (social media) adalah salah satu platform paling penting bagi pengguna internet. Di situs web seperti Facebook, Twitter/X, Instagram, TikTok, hingga layanan pesan instan WhatsApp masyarakat Indonesia berjaring dengan banyak orang, mereka juga kerap mencari informasi di media sosial. Media sosial ibarat jaring laba-laba yang menghubungkan satu orang dengan orang lainnya. Media sosial adalah ruang publik baru, alternatif ruang maya di mana masyarakat Indonesia bisa bertemu dan membicarakan segala hal.
Selama beberapa tahun terakhir penetrasi pengguna internet di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Pada bulan Januari 2024 tercatat bahwa jumlah penduduk Indonesia mencapai angka 278,7 juta jiwa. Di populasi yang sebesar itu, dilaporkan bahwa pengguna internet di Indonesia adalah 185,3 juta jiwa. Angka ini luar biasa, dari total populasi penduduk Indonesia, penetrasi internet sangat besar yakni 66,5 %. Sementara itu, secara spesifik di ranah media sosial, dilaporkan bahwa 139,0 juta penduduk Indonesia menggunakan media sosial, angka ini berarti sejumlah 49,9 % dari total penduduk Indonesia. (Kemp 2024).
Para pengguna internet di Indonesia sebagian besar menggunakan layanan-layanan media sosial yang paling populer seperti Facebook, Twitter/X, Instagram, TikTok, hingga YouTube. Tercatat di awal 2024 ada 117,6 juta pengguna Facebook, 24,69 juta pengguna Twitter/X, 100,9 juta pengguna Instagram, 126,8 juta pengguna TikTok, dan 139,0 juta pengguna YouTube. (Kemp 2024).
Angka pengguna media sosial di Indonesia ini luar biasa. Media sosial menjadi arena interaksi sosial-politik baru yang menggantikan sebagian fungsi media tradisional. Hal ini dapat terjadi karena sifat cair dan fleksibel dari media sosial di mana semua orang bisa melontarkan pendapat dan gagasannya. Ada semacam kesan bahwa media sosial adalah ruang yang lebih demokratis dan egaliter, tempat semua orang punya posisi yang sama.
Ini sangat berbeda dengan lanskap media tradisional seperti surat kabar atau majalah. Ketika ingin menyampaikan pendapat, misalnya dengan menulis opini (op-ed) di surat kabar, terdapat aturan-aturan yang cukup ketat misalnya mempertimbangkan latar belakang pendidikan, jabatan, atau kepakaran seseorang. Sementara di media sosial, semua orang bisa bersuara.
Di dalam ranah politik, tak pelak media sosial menjadi arena baru dalam berpolitik. Media sosial bak ring tinju di mana para pengguna internet berjibaku dan saling tinju, melontarkan jab dan upper-cut mereka tentang wacana politik tertentu. Di tengah wacana perpolitikan di media sosial inilah muncul fenomena yang kerap didengar namanya setidaknya dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Fenomena ini adalah para “buzzer”, atau telah diserap ke bahasa Indonesia sebagai “pendengung”.
2. Definisi Pendengung Politik
Buzzer (selanjutnya akan disebut sebagai pendengung) adalah individu atau kelompok yang secara aktif memanfaatkan platform media sosial untuk menyebarkan pesan politik, memengaruhi opini publik, dan memanipulasi persepsi kolektif terhadap kandidat atau partai politik tertentu. Mereka sering kali memiliki banyak pengikut dan menggunakan teknik komunikasi yang cermat untuk mencapai tujuan politik mereka. (Wulandari 2023, 2).
Di dalam kaitannya dengan politik elektoral lima tahunan (baca: pemilu), Pilkada, atau wacana politik lainnya, platform media sosial menawarkan jalur langsung bagi pendengung untuk berinteraksi dengan calon pemilih dan masyarakat. Mereka menggunakan beragam taktik komunikasi, termasuk penyebaran disinformasi, manipulasi gambar kandidat, dan eksploitasi prinsip-prinsip psikologis untuk menghasilkan fenomena viral dan menyebarkan pesan-pesan politik mereka.
Pendengung politik memiliki peran sentral dalam menggiring opini politik tertentu di media sosial. Pendengung juga memiliki peran untuk memengaruhi opini publik dalam hal-hal di luar perkara politik. Misalnya, masih segar di ingatan kita ketika dunia diluluhlantakkan oleh virus corona dan COVID-19 yang menjadi pandemi pada tahun 2020 silam. Kala itu, alih-alih mencari cara untuk menangani penyebaran COVID-19, pemerintah Indonesia malah kerap menggunakan jasa para pendengung untuk menggiring opini masyarakat agar percaya bahwa Indonesia tidak akan terjangkit COVID-19, dan pemerintah telah berupaya semaksimal mungkin menjaga warga negara agar tidak tertular penyakit ini. (Faulina dan Chatra 2021).
Padahal fakta berkata lain. Dari awal ketika COVID-19 masih berstatus endemi, pemerintah Indonesia tidak segera melakukan langkah preventif misalnya dengan menutup pintu masuk ke Indonesia. Pada akhirnya ketika status COVID-19 berubah menjadi pandemi, nasi sudah menjadi bubur, COVID-19 akhirnya merebak di Indonesia, dan pemerintah terlihat sangat tidak kompeten dan gagap dalam menangani pandemi ini.
Contoh terdekat dari peran sentral pendengung dalam wacana politik terjadi jelang dan semasa pemilihan umum (pemilu) 2024 berlangsung di Indonesia. Setiap kubu calon presiden memiliki pasukan pendengung sendiri yang bekerja dengan dua tujuan utama: 1) menggiring opini publik agar suka dan memilih calon presiden yang merekrut mereka, dan 2) melalui black campaign menggiring opini publik agar membenci dan tidak memilih calon kompetitor.
Di tengah penetrasi pengguna internet dan jumlah pengguna internet serta pengguna media sosial yang sangat besar sebagaimana telah dipaparkan di atas, dapat dipastikan bahwa para pendengung memiliki peran yang luar biasa dalam menciptakan narasi politik tertentu. Pendengung ibarat seekor anjing, ia akan menggonggong sesuai perintah tuannya. Tuan dari anjing ini bisa dari banyak kalangan: politisi, pengusaha, pesohor, atau bahkan pemerintah secara umum.
Namun, yang paling mengherankan dari eksistensi pendengung ini adalah, kerap kali tidak semua pendengung itu dibayar. Banyak juga pendengung yang secara sukarela melakukan kerja-kerja pembentukan opini atau penyerangan pada sosok tertentu murni karena didasari oleh keinginan personal, bukan karena adanya motif invoice bayaran akan cair dalam nominal besar. Menariknya, dibayar atau sukarela, pendengung punya intensi yang sama di dalam kancah perpolitikan: mempromosikan calon politisi tertentu, atau menyerang oposisi. (Maulana dan Hastuti 2022, 9).
Narasi yang digetarkan pendengung pun beragam sesuai pesanan. Misalnya, pendengung bisa menciptakan narasi politik tertentu seperti narasi pro-pemerintah, anti-oposisi, atau narasi memfitnah target sasaran dengan berbagai cara seperti menyebarkan hoaks, menyerang pribadi seseorang, hingga membocorkan kehidupan pribadi target dengan metode doxxing. Pendengung adalah duri dalam daging demokrasi. Menusuk dan melukai. Memorak-porandakan sendi-sendi demokrasi, semua demi rupiah besar yang dibayarkan oleh para penyewanya.
3. Strategi dan Taktik pendengung
Di dalam bekerja pendengung memiliki berbagai strategi dan taktik. Pendengung acapkali bukan hanya terdiri dari seorang individu. Pendengung telah menjadi sebuah bisnis besar yang terstruktur, masif, dan sistematis, dengan adanya sebuah tim besar yang memiliki Standard Operational Procedure (SOP). Taktik dan strategi yang digunakan oleh para pendengung adalah sebagai berikut:
- Framing atau pembingkaian: Di sini para pendengung membentuk persepsi publik melalui narasi tertentu. Misalnya pelabelan “radikal” pada oposisi politik, pelabelan “nasionalis” pada politisi yang mereka dukung, serta pembingkaian bernada positif pada program-program yang dilakukan pemerintah.
- Polarisasi: memecah belah atau mengadu domba masyarakat melalui konten kontroversial atau provokatif. Ini dapat dilihat dari kasus ketika para pengungsi Rohingya di Aceh dipersekusi oleh mahasiswa dan masyarakat. Pemicunya adalah konten ujaran kebencian dan hoaks yang disebarkan oleh para pendengung. Karena konten-konten tersebut jadi ada polarisasi yang gaduh di masyarakat. Antara yang mendukung pengungsi Rohingya, dan yang menolak.
- Hoaks dan disinformasi: penyebaran informasi palsu (hoaks) dan informasi yang belum tentu kebenarannya untuk membingungkan opini publik.
4. Studi Kasus Spesifik
Setelah mengetahui apa itu pendengung, bagaimana cara mereka bekerja, dan apa peran mereka dalam kehidupan sosial-politik di Indonesia, kita patut menyoroti beberapa kasus spesifik yang melibatkan pendengung. Berikut adalah contoh fenomena sosial-politik yang ada kaitannya dengan eksistensi pendengung di Indonesia. Data-data ini diperoleh dari laporan penelitian tentang kebebasan berinternet di Indonesia yang dirilis Freedom House pada tahun 2024. Walau sebenarnya angkanya jauh lebih besar, tetapi contoh studi kasus spesifik yang dipaparkan di sini setidaknya dapat menggambarkan peran sentral pendengung:
- Unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja dan Omnibus Law (2020): Di sini para pendengung berperan membingkai sehingga muncul kesan bahwa demonstrasi mahasiswa dan buruh adalah tindakan anarkistis.
- Pemilu 2024: Penggunaan pendengung dalam kampanye pasangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, Anies Baswedan – Mahfud MD, dan Ganjar Pranowo – Muhaimin Iskandar untuk membangun narasi dukungan sekaligus menyerang lawan. Tagar yang sempat ramai adalah #MahasiswaBergerak dari kubu aktivis pro-demokrasi, dan ditandingi tagar #SayaBersamaJokowi yang dilontarkan para pendengung.
- Pada tahun 2023, Kominfo memerintahkan pemblokiran 791,540 laman web, termasuk 1,098 laman web yang diidentifikasi sebagai “negatif” oleh lembaga pemerintah, dan sejumlah kecil yang dibatasi karena alasan lain, termasuk penyebaran penipuan daring dan radikalisme. (Kominfo 2024). Di sini para pendengung melontarkan wacana yang membela kebijakan—yang tidak bijak—dari pemerintah ini.
- Menjelang Pemilu 2024, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) membentuk Satgas Pengawasan Media Sosial, yang beranggotakan personel Bawaslu, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kominfo, dan Tim Siber Kepolisian Negara Republik Indonesia (Shafira 2022b) untuk memantau media sosial dan memerintahkan penghapusan konten “hoaks” dan yang bersifat memecah belah (Shafira 2022a). Pada bulan Januari 2024, Bawaslu mengumumkan akan mengajukan permintaan penghapusan akun pendengung (buzzer) politik kepada perusahaan media sosial untuk menghapus akun pendengung politik dari platformnya dan mengajukan tuntutan pidana terhadap individu tersebut berdasarkan undang-undang ITE. (Burgess dan Souisa 2024).
- Pada Desember 2023, pemerintah mengamendemen UU ITE yang digunakan oleh otoritas untuk menangkap jurnalis dan pembela hak asasi manusia. Amendemen tersebut mempersempit definisi pencemaran nama baik, mensyaratkan beban pembuktian yang lebih kuat, dan menurunkan hukuman maksimum dari empat tahun menjadi dua tahun. (International Federation of Journalists 2023). Namun, organisasi masyarakat sipil lokal dan internasional mengatakan amendemen tersebut tidak memadai, dan mencatat bahwa UU tersebut masih memuat ketentuan bermasalah mengenai ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dan berita palsu yang dapat terus dimanipulasi untuk menyensor ucapan dan menargetkan para jurnalis dan para aktivis. (International Federation of Journalists 2023).
- Riset yang dirilis pada Oktober 2023 menunjukkan bahwa elite politik dan ekonomi, termasuk tokoh-tokoh yang berafiliasi dengan partai politik besar dan militer, terus memanipulasi opini publik di media sosial melalui komentator bayaran, atau para pendengung.” (Pradipa 2023). Penelitian yang dirilis pada November 2021 menemukan bahwa beberapa pendengung dibayar antara 2 juta hingga 7 juta rupiah per kampanye. (CNN Indonesia 2021). Selain itu, Indonesia Corruption Watch, sebuah lembaga think tank, melaporkan pada tahun 2020 bahwa pemerintah telah menganggarkan 90 miliar rupiah untuk menyewa para pendengung guna mempromosikan kebijakan pemerintah. Jaringan pendengung berbayar diketahui memanipulasi topik yang sedang tren dan tagar di Twitter/X, sering kali untuk menekan tagar yang muncul secara organik. (BBC Indonesia 2022). Setelah disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru pada bulan Desember 2022, marak postingan yang pro-pemerintah dengan tagar #KUHPUntukKemajuanIndonesia atau “KUHP untuk Kemajuan Indonesia”. (Kunto 2023).
- Pada bulan April 2024, aktivis lingkungan Daniel Frits Maurits Tangkilisan dijatuhi hukuman tujuh bulan penjara dan denda Rp50 juta berdasarkan UU ITE atas postingannya di Facebook yang memprotes pencemaran di Karimunjawa, yang menurut pengadilan telah “menimbulkan keresahan” di dalam masyarakat. (Gokkon 2024).
- Pada bulan April 2023, Pengadilan Negeri Kota Solo di Jawa Tengah menjatuhkan hukuman enam tahun penjara kepada Sugi Nur Rahardja atas tuduhan menyebarkan ujaran kebencian dan penistaan agama. Ia didakwa berdasarkan UU ITE dan KUHP terkait siniar (podcast) yang diunggahnya di YouTube yang mengklaim ijazah Jokowi dipalsukan. (Sulistyowati dan Rusiana 2023).
- Pada bulan Januari 2024, aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dibebaskan dari dakwaan pencemaran nama baik yang diajukan terhadap mereka pada tahun 2021. (Strangjo 2024). Azhar dan Maulidiyanti mengajukan uji materiil KUHP 1946, dan pada bulan Maret 2024, setelah mereka dibebaskan, Mahkamah Konstitusi mencabut tiga ketentuan dalam KUHP 1946 yang terkait dengan pencemaran nama baik dan informasi palsu. Azhar dan Maulidiyanti mengunggah siniar ke YouTube yang menuduh militer telah melakukan operasi ilegal di Papua Tengah untuk “melindungi kepentingan pertambangan” yang terkait dengan Luhut Pandjaitan, menteri koordinator urusan maritim dan investasi kala itu. (Human Rights Watch 2023).
Bagian Kedua: Analisis Fenomena Pendengung dengan Teori Hegemoni Antonio Gramsci.
I. Pendahuluan
1. Pengantar
Setelah mengetahui apa itu pendengung dan peran sentralnya menggiring opini di ruang publik baru di dunia maya, ada baiknya kemudian menganalisis fenomena pendengung ini dengan sebuah kerangka teoritis agar kita mendapat gambaran yang lebih mendalam tentang korelasi pendengung dengan demokrasi di Indonesia. Gagasan “hegemoni” dari pemikir asal Italia, Antonio Gramsci cocok untuk digunakan sebagai pisau bedah.
Antonio Gramsci adalah salah satu pemikir sosial-politik yang paling termasyhur di dunia. Ia lahir pada tahun 1891, dan meninggal dunia pada tahun 1937. Gramsci mencita-citakan sebuah negara yang bersatu, modern, dan berakar pada kerakyatan dengan cara menafsirkan pemikiran Croce dengan semangat Marxist. (Sunardi 2011).
Pada tahun 1920, Antonio Gramsci cukup dekat dengan Benito Mussolini karena memiliki pandangan yang sama untuk mengangkat derajat Italia yang bersatu di bawah sosialisme. Namun, pada akhirnya mereka pecah kongsi. Gramsci memandang Mussolini adalah seorang reaksioner, dan ia juga telah menduga akan ada perubahan besar yang dibawa oleh fasisme. Mussolini yang kemudian mengantarkan Gramsci ke nasibnya yang tragis: mati muda di penjara sebagai seorang reformator moral-intelektual dengan tulisan-tulisan yang masih setengah jadi. (Sunardi 2011).
Salah satu gagasan Gramsci yang paling terkenal adalah hegemoni. Hegemoni, bagi Gramsci, berfungsi untuk menekankan dimensi budaya dan moral dari pelaksanaan kekuasaan politik. Namun, ini bukanlah makna asli dari kata tersebut, baik di Yunani Kuno maupun di kalangan revolusioner Rusia pada akhir abad kesembilan belas yang menghidupkan kembali istilah tersebut dalam konteks modern.
Dalam bahasa Yunani Kuno, kata tersebut berasal dari “eghestai”, yang berarti mengarahkan atau memimpin. Kata ini kemudian menghasilkan “eghemon”, yang pada saat Perang Peloponnesos digunakan untuk menunjuk kota yang berada di posisi terdepan dalam aliansi negara-kota Yunani. Dalam disiplin Hubungan Internasional, istilah ‘hegemoni’ masih digunakan dalam pengertian yang dipinjam langsung dari periode kuno ini, yaitu situasi di mana satu Negara mendominasi dalam bidang militer, ekonomi, dan diplomatik. (Hoare dan Sperber 2016, 118).
2. Media Sosial sebagai Instrumen Hegemoni
Pendengung adalah bagian dari civil society yang dimanfaatkan oleh penguasa untuk menyebarkan ideologi dominan. Konsep hegemoni Gramsci menjadi tepat dan relevan digunakan untuk membedah fenomena pendengung politik ini karena berkaitan dengan kekuasaan, tentang bagaimana pemerintah yang berkuasa merepresi subordinat, tentang bagaimana para pendengung memanipulasi masyarakat Indonesia agar patuh dalam consent (kesepakatan) tanpa perlu adanya coersion (pemaksaan).
Di dalam kerangka berpikir Gramsci, pendengung politik menjadi elemen penting dalam mempertahankan kekuasaan di dunia maya, atau secara spesifik di berbagai media sosial. Media sosial adalah ruang reproduksi consent (kesepakatan) dan produksi wacana ideologis. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:
- Informasi yang mudah menyebar dengan sangat cepat.
Karena bersifat real time, maka media sosial memungkinkan sebuah informasi tersebar sangat cepat, bahkan dalam hitungan detik, dan pendengung politik memanfaatkan ini untuk mendominasi narasi di ruang digital. Misalnya di Twitter/X. Sebagai platform berbasis tagar (hashtag), pendengung menggunakan kampanye tagar untuk menciptakan dan membuat viral tren yang mendukung atau menyerang pihak tertentu. Contohnya, tagar-tagar seperti #JokowiLagi atau #2024GantiPresiden sering menjadi alat untuk memengaruhi opini publik secara luas.
Kemudian di TikTok, aplikasi buatan perusahaan asal China, ByteDance. Konten video pendek berkisar 30 detik hingga satu menit yang menarik secara emosional digunakan untuk menarik audiens muda, terutama Gen Z, dengan narasi yang mudah dicerna dan viral. Contohnya adalah bagaimana Prabowo Subianto menggunakan TikTok untuk mencitrakan dirinya “gemoy”. (CNN Indonesia 2024). Efeknya adalah imej Prabowo yang selalu dilekatkan dengan pelanggaran HAM luruh, tergantikan sosok yang lucu dan menyenangkan.
- Kemampuan untuk Mengontrol Diskursus dan Narasi Publik
Secara eksplisit pendengung politik diciptakan untuk memastikan isu-isu tertentu yang menguntungkan kelompok dominan tetap menjadi wacana dominan di publik, sementara isu lain yang merugikan kelompok dominan ditekan, direpresi, atau dialihkan. Misalnya di Instagram, pendengung kerap menggunakan visualisasi menarik seperti infografis atau meme secara persuasif sehingga membangun kesan positif terhadap pihak yang mereka dukung. Sementara itu di TikTok dan Twitter/X pendengung sering menyerang lawan politik dengan narasi yang negatif, dan kerap diperkuat oleh pasukan bot atau akun palsu dan akun anonim.
- Keterampilan membuat ilusi dukungan mayoritas
Lanskap media sosial mempermudah para pendengung untuk membuat ilusi bahwa beberapa pandangan tertentu didukung oleh mayoritas. Ini terlihat dari banyaknya bot dan akun palsu. Memanfaatkan keduanya, pendengung bisa memanipulasi jumlah interaksi seperti jumlah likes, komentar, dan repost tampak lebih banyak dari postingan lainnya. Hal ini membuat narasi tertentu terlihat lebih kredibel dan populer ketimbang yang sebenarnya.
Menurut hegemoni a la Gramsci, kesepakatan (consent)—aspek utama hegemoni—berarti bahwa mereka yang menyetujui harus benar-benar yakin bahwa kepentingan kelompok dominan adalah kepentingan masyarakat luas, bahwa kelompok hegemonik mendukung tatanan sosial yang tepat di mana semua orang diperlakukan dengan adil. (McNally dan Schwarzmantel 2009, 96).
Pendengung politik dapat diartikan sebagai bagian dari aparatus ideologis yang menciptakan consent (kesepakatan) melalui media sosial. Para pendengung membangun diskursus yang menguntungkan kelompok dominan, sehingga opini publik terbentuk tanpa merasa dipaksa. Ketika narasi yang mereka promosikan gagal mencapai kesepakatan, maka coersion (pemaksaan) melalui sensor atau kriminalisasi terhadap para pengkritik bisa dipakai untuk memperkuat hegemoni. Contohnya seperti yang telah dipaparkan dalam Studi Kasus Spesifik di bagian pertama. Misalnya bagaimana DPR mengamendemen UU ITE, dan bagaimana kemudian UU ITE dengan pasal karetnya kerap digunakan untuk membawa para pengkritik kuasa ke ranah hukum.
Lebih lanjut, tercatat bahwa 35,92 % orang yang melaporkan kasus UU ITE adalah pejabat negara, termasuk di dalamnya adalah kepala daerah, kepala instansi/departemen, menteri, dan aparat keamanan. (Gerintya 2018).
II. Analisis Hegemoni Pendengung Politik
1. Aktor Dominan dan Ideologi yang Dipertahankan, serta Strategi Hegemoni Melalui Pendengung Politik
Di pusaran perpolitikan Indonesia yang kian tidak demokratis karena hadirnya para pendengung ini, pemerintah dan elite politik adalah aktor dominan. Aktor dominan ini mengelabuhi subordinat (rakyat) dengan wacana-wacana yang ditelurkan oleh para pendengung, dan cara-cara yang digunakan memunculkan adanya kesepakatan. Namun, ketika sebuah wacana dominan tidak berhasil disepakati oleh masyarakat, aktor dominan akan menggunakan coersion. Bentuknya tidak hanya secara fisik seperti penggunaan aparatus negara yaitu polisi dan militer, tetapi juga dalam bentuk pemanfaatan Undang-Undang, sebuah aturan legal yang diciptakan untuk mengatur berbagai sendi kehidupan negara Indonesia.
Salah satu Undang-Undang yang paling banyak digunakan untuk memaksa warga negara adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Berdasarkan Pasal 40 UU ITE, Kominfo—selaku instrumen dari pemerintah—berwenang untuk secara langsung membatasi akses terhadap konten daring, atau membatasi ISP, dan peraturan tersebut tidak memuat mekanisme untuk mengajukan banding atas keputusan penghapusan konten. (MEDIANA 2024).
Pasal 26 UU ITE menegaskan “hak untuk dilupakan” bagi warga negara Indonesia, di mana penyedia sistem elektronik, seperti Google, diharuskan menghapus informasi yang tidak relevan tentang seseorang jika mereka menerima perintah pengadilan dari Kominfo. Undang-undang ini berpotensi menghambat hak publik atas informasi, mengingat masalah seputar independensi Kominfo.
Jika Aktor Dominan dalam fenomena para pendengung politik ini adalah pemerintah, maka ideologi dominannya adalah stabilitas politik, pembangunan nasional, dan delegitimasi oposisi. Menurut Gramsci, hegemoni dibangun melalui daya tarik kelompok pemimpin dan juga melalui kompromi dan konsesi yang ditujukan pada upaya sadar untuk menggalang kekuatan pendukung. Syarat utama politik hegemoni adalah persetujuan kelompok pendukung. (Hoare dan Sperber 2016, 122).
Kelompok pendukung atau subordinat di sini adalah rakyat Indonesia secara umum dan luas. Rakyat, atau masyarakat, atau warga negara Indonesia harus menerima kesepakatan (consent) yang didengungkan para pendengung. Misalnya dengan menyepakati narasi populis yang bisa diterima publik, seperti “persatuan bangsa dan stabilitas politik-ekonomi lebih penting daripada kritik.”
Pendengung juga dengan lihai membingkai bentuk-bentuk kritik kepada aktor dominan sebagai ancaman terhadap kepentingan bersama. Misalnya dengan melakukan kriminalisasi terhadap para aktivis dengan narasi radikalisme, anarkisme, atau komunisme. Kerap kita temui para aktivis yang menyuarakan pendapat kritis pada pemerintah kemudian di-framing sebagai bagian dari kelompok radikal lah, bagian dari anarko-sindikalis lah, atau penganut paham komunisme yang ingin membangkitkan komunisme di Indonesia.
Ketika cara-cara kesepakatan (consent) tidak lagi berhasil, kuasa (baca: pemerintah) dan para pendengungnya kemudian akan menggunakan pemaksaan (coersion). Pemaksaan ini bertujuan merepresi subordinat agar patuh (baca: takut) pada kuasa atau aktor dominan.
Misalnya, pendengung digunakan untuk menyerang personal tokoh oposisi, atau para aktivis dan kritikus yang memprotes pemerintah, sehingga menciptakan rasa takut untuk bersuara. Pada akhirnya mereka yang tadinya gencar bersuara akan melakukan swasensor atas apa pun yang diucapkan di media sosial karena takut keselamatannya terancam.
Lebih lanjut, UU ITE sebagai instrumen negara juga memperkuat dominasi melalui kontrol hukum. Ketika para pendengung gagal menghabisi para pengkritik, pemerintah akan menggunakan UU ITE untuk memberangus kebebasan berpendapat para pengkritik. Proses kesepakatan dan pemaksaan ini sama-sama hegemonik, hanya berbeda bentuk dan cara saja.
III. Penutup
Implikasi dari fenomena pendengung politik yang menguasai dunia maya dan media sosial ini terhadap demokrasi di Indonesia cukup besar. Pertama, akan terjadi penurunan kualitas diskusi publik karena setiap ada pihak yang berupaya berbicara kritis akan diserang secara personal, data pribadinya disebar melalui proses doxxing, hingga mandeknya proses dialektika di media sosial. Kedua, akan terjadi penguatan otoritarianisme digital. Jika Benito Mussolini dengan watak fasisnya bisa sesuka hati memenjarakan sahabatnya sendiri Antonio Gramsci, maka aktor dominan/pemerintah bisa juga memenjarakan para pengkritik di dunia maya berbekal UU ITE. Kesimpulan dari analisis teori hegemoni di fenomena ini, para pendengung politik tidak hanya memperkuat kekuasaan kelompok dominan tetapi juga membatasi ruang ekspresi masyarakat sipil.
Untuk melawan hegemoni pemerintah dan pasukan pendengung politiknya, diperlukan adanya wacana tandingan (counter-hegemony) dari masyarakat sipil. Misalnya dengan melakukan mobilisasi digital seperti membuat gerakan tagar. Hal ini pernah dilakukan dalam kasus #ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan #PercumaLaporPolisi.
Pengguna media sosial telah memperkuat pesan-pesan pengunjuk rasa secara daring dan menandatangani petisi daring, sementara banyak orang lain telah mengumpulkan dana untuk mendukung demonstrasi. Change.org adalah salah satu platform yang sangat populer di Indonesia, dan kerap digunakan untuk mengamplifikasi isu-isu tertentu yang menyangkut hajat hidup orang banyak. (Hidayat 2022).
Keberadaan pendengung politik kian menegaskan pentingnya literasi digital untuk warga negara, serta pengawasan independen terhadap aktivitas para pendengung politik. Pengawasan ini dapat dilakukan oleh masyarakat sipil, organisasi non-pemerintah, atau siapa saja yang punya kegelisahan akan rusaknya demokrasi karena pendengung politik yang tumbuh subur bak jamur di musim hujan.[]
Catatan: Tulisan ini sebenarnya adalah paper untuk Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah Dasar-Dasar Kajian Budaya. Saya merasa bahwa daripada hanya jadi syarat lulus mata kuliah, saya publikasikan saja di sini biar dibaca banyak orang. Dari lima paper yang saya tulis untuk lima mata kuliah di semester satu, hanya paper ini yang tidak membahas musik. Makanya, saya publikasikan di sini. Empat paper lainnya membahas musik dan akan saya modifikasi untuk kemudian dimasukkan ke jurnal-jurnal akademik yang fokusnya adalah musik dalam kaitannya dengan sosial-politik atau ilmu humaniora.
DAFTAR PUSTAKA
Baan, Marcel Rombe. 2017. “Sejak Kapan Masyarakat Indonesia Nikmati Internet?” 2017. https://stei.itb.ac.id/en/sejak-kapan-masyarakat-indonesia-nikmati-internet/.
BBC Indonesia. 2022. “Demo 11 April: Perang tagar #MahasiswaBergerak dan #SayaBersamaJokowi warnai aksi mahasiswa tolak penundaan Pemilu 2024.” BBC News Indonesia, 2022. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61057508.
Burgess, Anika, dan Hellena Souisa. 2024. “They Have Been Called ‘a Virus’, but Buzzers Are Part of a Fast-Growing Industry during Election Season.” 19 Januari 2024. https://www.abc.net.au/news/2024-01-20/political-buzzers-indonesia-election-misinformation-social-media/103298530.
CNN Indonesia. 2021. “‘Playmaker’ di Arena Digital itu Sering Disebut Buzzer.” teknologi. 2021. https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20211105195614-192-717359/playmaker-di-arena-digital-itu-sering-disebut-buzzer.
———. 2024. “Bayang-bayang Pengguna TikTok di Keunggulan Prabowo-Gibran.” teknologi. 2024. https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20240219015938-192-1064323/bayang-bayang-pengguna-tiktok-di-keunggulan-prabowo-gibran.
Faulina, Ade, dan Emeraldy Chatra. 2021. “Peran Buzzer dalam Proses Pembentukan Opini Publik di New Media.” Jurnal Pendidikan Tambusai 5 (2).
Gerintya, Scholastica. 2018. “Jerat UU ITE Banyak Dipakai oleh Pejabat Negara.” tirto.id, 18 Oktober 2018. https://tirto.id/jerat-uu-ite-banyak-dipakai-oleh-pejabat-negara-c7sk.
Gokkon, Basten. 2024. “Indonesian Court Jails Environmentalist for Flagging Illegal Farms in Marine Park.” Mongabay Environmental News. 4 April 2024. https://news.mongabay.com/2024/04/daniel-tangkilisan-karimunjawa-marin-national-park-indonesia-environmental-activist-jailed/.
Hidayat, Avit. 2022. “10 Keberhasilan Petisi Online Bisa Mengubah Kebijakan | tempo.co.” Tempo. 19 Januari 2022. https://www.tempo.co/politik/10-keberhasilan-petisi-online-bisa-mengubah-kebijakan-433819.
Hoare, George, dan Nathan Sperber. 2016. An Introduction to Antonio Gramsci: His Life, Thought and Legacy. London: Bloomsbury Academic.
Human Rights Watch. 2023. “Indonesia: Activists on Trial for Criminal Defamation.” 14 April 2023. https://www.hrw.org/news/2023/04/14/indonesia-activists-trial-criminal-defamation.
International Federation of Journalists. 2023. “Indonesia: ITE Law Revision Retains Threat to Freedom of Expression / IFJ.” 6 Desember 2023. https://www.ifj.org/media-centre/news/detail/category/press-releases/article/indonesia-ite-law-revision-retains-threat-to-freedom-of-expression.
Kemp, Simon. 2024. “Digital 2024: Indonesia.” DataReportal – Global Digital Insights. 21 Februari 2024. https://datareportal.com/reports/digital-2024-indonesia.
Kominfo. 2024. “TrustPositif.” 2024. https://trustpositif.kominfo.go.id/Statistik.
Kunto, Nisya. 2023. “As Indonesia’s Elections Approach, Buzzers Jeopardise Democracy.” Southeast Asia Globe. 16 Maret 2023. https://southeastasiaglobe.com/indonesia-election-buzzers/.
Maulana, Harry Fajar, dan Hastuti. 2022. “Peran Buzzer Politik dalam Pembentukan Opini Publik Mendukung Anies Baswedan di Media Sosial Twitter.” Perspektif Komunikasi: Jurnal Ilmu Komunikasi Politik dan Komunikasi Bisnis 6 (1): 111–22.
McNally, Mark, dan John Schwarzmantel, ed. 2009. Gramsci and Global Politics: Hegemony and Resistance. Routledge Critical Thinkers. New York: Routledge.
MEDIANA. 2024. “Permintaan Penghapusan Konten di Media Sosial Menguat.” kompas.id, 19 Januari 2024. https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/01/19/permintaan-penghapusan-konten-di-media-sosial-menguat.
Pradipa, Rasidi. 2023. “Transformative Working-Class Labor in Indonesia’s Political Influence Operations,” The Influence Industry Project.” The Influence Industry Project. 2023. https://influenceindustry.org/en/explorer/case-studies/indonesia-politik-influence-operations/.
Shafira, Ina Dini. 2022a. “Bawaslu Bentuk Satgas Pengawas Medsos, Pengamat: Berpotensi Batasi Kebebasan Berpendapat | tempo.co.” Tempo. Desember | 14.50 WIB 2022. https://www.tempo.co/politik/bawaslu-bentuk-satgas-pengawas-medsos-pengamat-berpotensi-batasi-kebebasan-berpendapat-238374.
———. 2022b. “Bawaslu Bentuk Satgas Pengawas Medsos, Unggahan Bisa Di-take down | tempo.cox.” Tempo. Desember | 22.45 WIB 2022. https://www.tempo.co/politik/bawaslu-bentuk-satgas-pengawas-medsos-unggahan-bisa-di-take-down-238502.
Strangjo, Sebastian. 2024. “Indonesian Court Acquits Two Prominent Rights Defenders of Defamation.” 2024. https://thediplomat.com/2024/01/indonesian-court-acquits-two-prominent-rights-defenders-of-defamation/.
Sulistyowati, Fristin Intan, dan Dita Angga Rusiana. 2023. “Gus Nur Terdakwa Kasus Tuduhan Ijazah Palsu Jokowi Divonis 6 Tahun Penjara.” Kompas.com, 2023. https://regional.kompas.com/read/2023/04/18/135115678/gus-nur-terdakwa-kasus-tuduhan-ijazah-palsu-jokowi-divonis-6-tahun-penjara.
Sunardi, St. 2011. “Dua Jalan Sosialisme untuk Reformasi Moral-Intelektual: Gramsci dan Mussolini.” Dalam Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan, disunting oleh Andy Dermawan, 389. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (Lesfi).
Wulandari, Charisma Dina. 2023. “Fenomena Buzzer Di Media Sosial Jelang Pemilu 2024 Dalam Perspektif Komunikasi Politik.” Avant Garde 11 (1): 134. https://doi.org/10.36080/ag.v11i1.2380.