
Setiap pukul 10 pagi, Yogyakarta seolah berhenti sejenak. Di tengah hiruk-pikuk jalan Malioboro, pelataran keraton, Stasiun Tugu dan Lempuyangan, kantor-kantor dinas, atau sekolah-sekolah, lagu “Indonesia Raya” bergema lewat pelantang suara di ruang-ruang publik. Semua orang diharapkan berdiri tegak, tangan lurus di kedua sisi tubuh, mata menghadap depan—sebuah gestur yang tidak hanya berupa fisik tetapi juga bersifat simbolis. Kebijakan ini digagas oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di bawah kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono X pada 18 Mei 2021 melalui Surat Edaran (SE) Gubernur DIY Nomor 29/SE/V/2021 tentang “Memperdengarkan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya”. Aturan ini mewajibkan pemutaran lagu kebangsaan setiap pukul 10 pagi di seluruh instansi pemerintah, sekolah, dan ruang publik (Maryamah, 2025).
Penulis mengalami kondisi wajib berdiri tegap ini dua kali: Pertama, sekitar tahun 2022 saat terjadi pandemi COVID-19 dan penulis sedang antre suntik vaksin di sebuah kantor pemerintah daerah, di tengah antrean panjang, ketika jam 10 pagi semua aktivitas harus dihentikan karena lagu “Indonesia Raya” berkumandang. Kedua, sekitar Desember 2024 ketika penulis hendak naik kereta pulang ke Surakarta dan berada di Stasiun Lempuyangan.
Pemutaran “Indonesia Raya” bukan sekadar ritual harian. Ia adalah mekanisme ideologis yang kompleks, sebuah praktik yang mengajak kita merefleksikan bagaimana negara—dalam hal ini otoritas lokal—membangun kesadaran kolektif melalui hal-hal yang tampak “biasa”.
Louis Althusser dalam esainya “Ideology and Ideological State Apparatuses” yang termaktub dalam buku Lenin and Philosophy and other Essays (2001) menjelaskan bahwa ideologi tidak hanya berupa gagasan abstrak, tetapi juga material yang tertanam dalam praktik-praktik sehari-hari. Salah satu konsep kuncinya adalah interpelasi (interpellation), yaitu proses ketika individu “dipanggil” oleh ideologi yang diinstitusionalkan dengan segenap perangkat kekuasaannya untuk mengakui diri mereka sebagai subjek yang tunduk pada sistem nilai tertentu. Althusser memberi satu contoh kejadian paling terkenal untuk menggambarkan interpelasi: jika suatu hari seorang polisi meneriakkan “Hei, kamu!” di jalan, maka seseorang yang secara otomatis menoleh, mengakui dirinya sebagai subjek yang terikat oleh hukum (Althusser 2001, 174). Dalam konteks Yogyakarta, pemutaran rutin lagu “Indonesia Raya” berfungsi sebagai “panggilan” serupa, sebuah interpelasi yang mengubah warga dari “individu biasa” menjadi “subjek nasionalis”.
Namun, interpelasi tidak bekerja dalam ruang hampa. Althusser membedakan dua alat negara, yaitu Repressive State Apparatuses (RSA) yang menggunakan kekerasan koersif seperti polisi atau militer, dan Ideological State Apparatuses (ISA) yang beroperasi melalui institusi budaya, agama, atau pendidikan (Althusser 2001, 143–145). Di Yogyakarta, Sultan—sebagai pemimpin yang memiliki legitimasi baik secara tradisional dan politik—bertindak sebagai agen ISA. Kewenangannya tidak hanya bersifat administratif sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tetapi juga kultural (Raja Keraton Ngayogyakarta).
Oleh karenanya, kebijakan pemutaran rutin lagu “Indonesia Raya” setiap pukul 10 pagi bukan sekadar instruksi teknis melainkan upaya Sultan mengonversi dirinya menjadi kekuatan ideologis yang membentuk kesadaran warga. Ini serupa dengan analisis Max Ritts dalam “Environmentalists Abide: Listening to Whale Music – 1965–1985” (2017) di mana aktivis lingkungan menggunakan rekaman suara ikan paus untuk “memanggil” publik agar mengidentifikasi diri sebagai bagian dari gerakan ekologis. Baik lagu kebangsaan maupun rekaman suara ikan paus berfungsi sebagai soundscape ideologis yang mengikat individu ke dalam identitas kolektif.
Praktik berdiri saat “Indonesia Raya” diputar adalah respons fisik terhadap interpelasi. Tindakan ini bukan sekadar kepatuhan tetapi juga performativitas yang memperkuat identitas nasional. Saat seseorang berdiri tegap, mereka tidak hanya menghormati lagu tapi juga mengonfirmasi diri sebagai “warga negara yang baik”, sebuah subjek yang diidealkan oleh negara. Namun, seperti diingatkan Althusser, interpelasi tidak pernah sepenuhnya deterministik. Tetap ada celah untuk melakukan perlawanan atau resistensi. Di Yogyakarta, misalnya, beberapa pedagang di Pasar Beringharjo terkadang melanjutkan aktivitas mereka sambil berjongkok. Banyak pula turis asing yang bingung menyaksikan orang-orang seketika berdiri tegak, kemudian mengabaikan ritual ini. Resistensi kecil ini menunjukkan bahwa interpelasi adalah proses yang dinamis. Ia bisa diterima, ditolak, atau dinegosiasikan (Ritts 2017, 1109–1110).
Di balik fenomena ini, muncul pertanyaan lebih dalam mengapa Yogyakarta sebagai daerah istimewa dengan identitas kultural yang kuat justru menjadi pionir dalam praktik nasionalisme seragam? Jawabannya mungkin terletak pada posisi Sultan sebagai cultural broker. Sebagai penguasa tradisional, ia harus menegosiasikan identitas lokal (Jawa) dan nasional (Indonesia). Dalam Surat Edaran tersebut, Sultan memerintahkan agar “Lagu Kebangsaan Indonesia Raya satu stanza agar diperdengarkan setiap pukul 10.00 WIB atau setiap pagi saat memulai aktivitas kegiatan.” Sultan juga menambahkan “Setiap orang yang hadir pada saat lagu kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan dan/atau dinyanyikan wajib berdiri tegak dengan sikap hormat” (Maryamah, 2025).
Dengan kata lain, Sultan menggunakan ISA untuk memadukan identitas ganda Yogyakarta sebagai Kesultanan Jawa sekaligus bagian dari Republik Indonesia. Menerapkan ritual nasionalis untuk mengonsolidasikan kekuasaan sekaligus membentuk subjek nasionalis Indonesia yang tetap berakar pada budaya lokal Jawa merupakan strategi yang sangat cerdik.
Namun, kita harus berhati-hati agar tidak terjebak pandangan yang terlalu kaku dan mekanistik. Interpelasi bukanlah proses satu arah. Sebagaimana ditunjukkan Ritts melalui kasus aktivis lingkungan, suara (dalam hal ini lagu kebangsaan) bisa menjadi alat resistensi sekaligus kontrol (Ritts 2017, 1089). Di Yogyakarta, ritual harian lagu kebangsaan mungkin dimaknai secara berbeda oleh berbagai kelompok. Bagi para pelajar, ini mungkin jadi pengingat akan pelajaran sejarah. Bagi pedagang, mungkin sekadar gangguan singkat dari rutinitas harian berjualan.
Pada suatu siang yang terik di sebuah lapak angkringan Jalan Malioboro, penulis berbincang dengan seorang bapak pemilik gerobak angkringan yang bercerita kurang lebih seperti ini: “Saya berdiri karena takut dikira ndak cinta dengan negara, tapi kadang saya juga mikir loh mas: apa hubungannya jualan sego kucing dengan berdiri saat lagu “Indonesia Raya” diputar?” (wawancara informal, 2025). Keragaman pemaknaan ini menggarisbawahi interpelasi sebagai medan pertarungan makna, bukan sekadar indoktrinasi satu arah.
Fenomena ini juga mengungkap kompleksitas posisi Sultan sebagai agen interpelasi. Di satu sisi, ia simbol lokal yang dihormati. Di sisi lain, ia bagian dari struktur negara yang harus mempromosikan ideologi nasional. Surat Edaran tahun 2021 tidak hanya mencerminkan kekuasaan politiknya tetapi juga mengukuhkan perannya sebagai “penjaga nilai”. Dalam teori Althusser, negara tidak selalu bertindak melalui pusat kekuasaan (Jakarta) tetapi bisa melalui aktor lokal yang memiliki otoritas kultural seperti halnya Yogyakarta (Althusser 2001, 150–151). Yogyakarta menjadi contoh bagaimana ISA bekerja secara “glokal”—global sekaligus lokal—dengan memanfaatkan simbol-simbol yang sudah mengakar di masyarakat.
Di tingkat mikro, pemutaran lagu kebangsaan juga menciptakan ruang untuk refleksi diri. Saat penulis bercakap-cakap dengan teman yang merupakan seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada terkait pemutaran “Indonesia Raya”, ia menjelaskan kurang lebih seperti ini: “Saat lagu itu dimainkan, aku langsung ingat perjuangan pahlawan di zaman penjajahan, tapi aku juga bertanya-tanya: apakah nasionalisme kita hanya diukur dari berdiri tegak?” (wawancara informal, 2025). Pertanyaan ini menggemakan kritik Althusser terhadap ideologi sebagai “hubungan imajiner” individu dengan kondisi nyata mereka (Althusser 2001, 162). Nasionalisme yang diidealkan melalui ritual pagi “Indonesia Raya” mungkin menutupi ketimpangan sosial atau masalah politik yang lebih kompleks. Namun, di saat yang sama, praktik ini bisa menjadi pintu masuk bagi berlangsungnya dialog kritis tentang makna kebangsaan itu sendiri.
Dalam konteks global saat identitas nasional sering dipertanyakan, fenomena pemutaran “Indonesia Raya” setiap jam 10 pagi di Yogyakarta menawarkan gambaran menarik tentang bagaimana otoritas lokal dapat menjadi ujung tombak dalam memelihara ideologi negara. Tapi ia juga mengingatkan bahwa setiap kali kita berdiri tegap saat mendengar lagu kebangsaan diputar, kita tidak hanya menghormati bangsa melainkan juga sedang bernegosiasi dengan diri sendiri sebagai subjek yang dihasilkan ideologi sekaligus manusia yang meragukan, memilih, dan kadang menolak ideologi tersebut. Ritual pagi pemutaran lagu “Indonesia Raya” di Yogyakarta adalah cermin paradoks sebuah interpelasi yang mengikat sekaligus membebaskan.
PS: Esai ini adalah tugas Ujian Tengah Semester untuk mata kuliah Kajian Ideologi. Tentu saya sangat paham bahwa Althusser itu red-flad se-red-flag-red-flag-nya karena telah melakukan kejahatan luar biasa: membunuh istrinya. Namun, namanya juga syarat tugas kuliah, saya tidak bisa menghindari pemikiran interpelasi Althusser untuk menyelesaikan esai ini.
Terima kasih kepada Sylvie Tanaga yang telah membantu menyunting esai ini.
Daftar Pustaka
Althusser, Louis. 2001. Lenin and Philosophy and Other Essays. Diterjemahkan oleh Ben Brewster. New York: Monthly Review Press.
Maryamah, Lulu Fatikhatul. 2025. “Kenapa Jogja Memutar Lagu Indonesia Raya Setiap Jam 10 Pagi?” IDN Times Jogja, 2025. https://jogja.idntimes.com/life/education/lulu-maryamah/kenapa-jogja-memutar-lagu-indonesia-raya-setiap-jam-10-pagi-c1c2.
Ritts, Max. 2017. “Environmentalists Abide: Listening to Whale Music – 1965–1985.” Environment and Planning D: Society and Space 35 (6): 1096–1114. https://doi.org/10.1177/0263775817711706.