
Saya baru saja selesai membaca buku Can Music Make You Sick? Karya Sally Anne Gross dan George Musgrave. Penelitian yang mereka sarikan di buku itu menyatakan bahwa musik tak hanya memiliki efek positif yang bagus untuk manusia. Musik juga bisa memiliki efek negatif untuk fisik maupun mental manusia. Dua peneliti ini menjabarkan bagaimana ambisi para musisi untuk memperoleh kemasyhuran di dunia musik ternyata sebenarnya menyiksa mereka, physically and mentally.
Kenapa musik bisa menyiksa? Ini karena musik bisa dibilang adalah salah satu cabang seni yang secara langsung berhubungan dengan fisik dan mental kita. Musik adalah serangkaian bunyi yang ditata sedemikian rupa dengan berbagai unsur seperti melodi, harmoni, timbre, tempo, ritme, birama, dan tangga nada sehingga menjadi suatu karya. Musik yang kita dengarkan akan ditangkap oleh gendang telinga kita, kemudian datum tersebut diterjemahkan otak menjadi kesan.
Di dalam bukunya Sally Anne Gross dan George Musgrave menjabarkan bagaimana para musisi terkadang tersiksa dalam proses kreatif bermusiknya. Efek siksaan itu tidak main-main, banyak musisi yang kemudian mengalami gangguan mental.
Ujungnya, sudah jamak kita ketahui banyak musisi yang kemudian memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri karena tidak mampu lagi berdamai dengan dirinya. Sebut salah salah satu contohnya adalah 27 Club, sebutan untuk para musisi yang meninggal dunia karena keputusannya sendiri, seperti Kurt Cobain, Janis Joplin, Jimi Hendrix, Jim Morrison, hingga Amy Winehouse.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, kita biasanya berbicara tentang cara musik menggerakkan kita untuk kegembiraan, gairah, excitement, kemurungan, bahkan kemarahan. Tetapi musik juga dapat digunakan untuk tujuan yang jauh lebih gelap. Musik dapat digunakan untuk menyiksa manusia.
Setidaknya itulah yang terjadi di penjara Guantánamo milik pemerintah Amerika Serikat. Selain bentuk siksaan fisik yang menyeramkan seperti waterboarding, para tahanan—yang kebanyakan tertuduh sebagai teroris, berasal dari timur tengah dan tidak memperoleh hak membela diri di pengadilan—juga disiksa dengan musik.
Musik, seperti banyak bentuk seni, adalah bagaimana kita mengidentifikasi dengan budaya kita dan tempat kita di dunia. Memutar musik yang sengaja dibuat musisi Amerika atau asing kepada tahanan asal Timur Tengah dimaksudkan untuk menjauhkan para tahanan dari diri mereka sendiri dan budaya mereka, serta membuat mereka lelah secara psikologis. Dengan menggunakan sebagian besar musik hard rock dan metal, para tahanan dibanjiri dengan suara-suara yang asing di telinga.
Di dalam reportasenya pada 2014 silam, Vox menghadirkan laporan penyiksaan Komite Intelijen Senat yang telah lama ditunggu-tunggu yang akhirnya dirilis ke publik pada tahun 2014 mengungkapkan beberapa penyiksaan fisik yang mengerikan yang dilakukan oleh CIA. Di antaranya adalah waterboarding, mengurangi jam tidur tahanan, dan pelecehan seksual. Laporan Vox itu juga merinci penggunaan “teknik disorientasi suara” oleh lembaga intelijen Amerika Serikat tersebut. Laporan tersebut menyebut musik itu menggelegar pada tahanan selama 24 jam.
Di dalam laporannya, Vox menghadirkan kesaksian sejumlah mantan tahanan penjara Guantánamo. Di situ dipaparkan bahwa tujuan dari teknik disorientasi suara itu adalah untuk menjatuhkan mental dan fisik tahanan.
Bayangkan adegan ini! Kamu dikurung dalam sebuah ruangan sempit yang gelap, dan selama 24 jam kamu dipaksa mendengarkan musik cadas (baca: metal) dengan desibel yang sebenarnya tidak bisa ditoleransi kuping manusia. Lama kelamaan kamu akan terjatuh secara fisik dan mental. Kamu akan kehilangan kewarasanmu. Inilah tujuan penyiksaan melalui musik itu.
Yang menarik adalah pemilihan genre musik yang digunakan untuk menyiksa para tahanan. Secara spesifik musik metal dan pop dipilih. Ini karena kedua genre tersebut sangat lekat dipandang sebagai “musiknya orang Amerika”, dan genre ini tentu sangat asing untuk para tahanan yang secara kultural lebih dekat ke wilayah timur tengah.
Beberapa musik metal yang diputar di antaranya adalah “Enter Sandman” milik band thrash metal Metallica, “Fuck Your God” milik Deicide, “The Beautiful People” karya Marylin Manson, dan “Bodies” milik Drowning Pool.
Selain metal, para tahanan juga dipaksa mendengarkan musik pop, misalnya “Dirrty” milik Christina Aguilera, “Kim” karya rapper Eminem, hingga “Baby One More Time” yang dipopulerkan penyanyi Britney Spears.
Menilik kasus penyiksaan dengan musik di penjara Guantánamo yang terletak di Kuba tersebut, saya kemudian menyimpulkan bahwa tanpa adanya kesadaran untuk mendengarkannya atas pilihan diri sendiri, musik bisa malih rupa menjadi sebuah siksaan. Tak hanya bagi para tahanan di Guantánamo, juga untuk kita yang terpaksa mendengarkan musik yang disetel dengan volume kencang-kencang di kedai kopi atau kafe, di ruang sempit lift, maupun di pelantang suara di angkot atau bus yang kita tumpangi.
Kondisinya mungkin tidak separah di sebuah penjara. Namun, kita tentu pernah mengalami sebuah kejadian ketika kita sedang nongkrong atau makan di sebuah kafe atau resto, dan senarai putar musik yang dimainkan di situ bukanlah musik yang kita suka, dan sialnya musik itu diputar kencang-kencang sehingga kita bahkan kesulitan untuk mendengarkan suara lawan bicara kita.
Menurut pemahaman saya, itu juga sebuah bentuk siksaan. Karena kita tidak secara sadar memilih untuk mendengarkan musik itu dan menghayatinya.
Maka, mulai sekarang ada baiknya kita membiasakan diri untuk mendengarkan musik dengan lebih baik, lebih sadar, dan lebih aktif. Agar musik tersebut tidak menjadi sebuah siksaan. Kita harus “mendengarkan” musik dengan aktif, dan bukan sekadar “mendengar” musik dengan pasif.
Karena ketika musik menyiksamu, kamu seharusnya punya kuasa penuh untuk menolak penyiksaan dalam bentuk gempuran sonik tersebut. Kita lebih beruntung karena masih bisa memilih, misalnya dengan meninggalkan kafe atau resto yang menyetel musik keras-keras, atau menegur karyawan di situ untuk memelankan suara musik yang diputar.
Bayangkan betapa nahas nasib para tahanan tertuduh teroris di penjara Guantánamo! Mereka tidak punya pilihan yang sama dengan kita. Ketika musik menyiksa mereka, mereka hanya bisa pasrah, tunduk pada negara super power—yang katanya adalah polisi dunia—bernama Amerika Serikat.
Sekarang, mari kita mendengarkan musik yang tidak menyiksa. Musik yang menyenangkan, membahagiakan, dan membebaskan.
Catatan: Ini adalah tulisan lama yang pernah dimuat di Kumparan Plus pada 2022. Karena tulisan di Kumparan Plus berbayar (paywalled), saya muat ulang di sini biar lebih mudah dibaca banyak orang.