Sebelum Aku Mati, Nadya

Sebelum Aku Mati, Nadya.

Aku sering berkunjung ke pemakaman. Baik itu untuk tujuan berziarah ke makam orang-orang yang telah dipanggil lebih dahulu, atau cuma sekadar mencium wewangian kamboja yang semerbak di tanahnya. Semasa kecilku pun aku gemar berkunjung ke sana. Dengan tanpa rasa takut aku lompati nisan-nisan yang diam membisu itu. Bahkan tak jarang kududuki satu-dua nisan yang bentuknya aku khayalkan sebagai seekor kuda. Aku serasa jadi kesatria berpedang dengan kuda kesayangannya tengah di medan perang.

Aku senang menerbangkan layang-layangku di kompleks pemakaman. Kata orang sih angker. Tapi kataku di pemakaman ini banyak angin, jadi layang-layangku bisa mengangkasa dengan cepat. Ketika beranjak dewasa pun aku tak bisa menghilangkan kebiasaan ini. Ketika ada tetangga atau kerabat yang meninggal dan hendak dikebumikan, entah kenapa senyuman mengembang di bibirku. Bukannya senyuman yang menunjukkan kebencianku pada orang mati itu. Tapi senyuman kegembiraan karena sebentar lagi aku akan turut mengantarnya menuju rumah masa depan sekaligus kediamannya di masa datang.

Penuh semangat diriku akan mengiring jenazah itu menuju kuburan. Begitu menginjakkan kaki di tanahnya. Aku akan memandang sekeliling, sekitar yang nampaknya sunyi, senyap. Kawanan burung gagak bersiul seraya bercengkerama di sudut. Ada beberapa gundukan tanah yang masih berwarna merah dan belum ditumbuhi rumput tanda penghuninya baru saja mengkapling jatah kediamannya.

Ketika jenazah yang kuiring mulai diturunkan ke liang lahatnya, tanpa henti aku terus menatapnya, aku tak mau melewatkan satu momen pun. Mengedipkan kelopak mata pun aku enggan. Di dalam hati aku ucapkan perpisahan sekaligus selamat kepadanya.

Selamat jalan wahai yang telah pergi, semoga kau dapatkan tempat yang lebih baik di sana. Semoga kau diterima di sisi-Nya. Juga kuucapkan selamat padamu, selamat karena kau lebih dulu meninggalkan dunia yang penuh kebohongan serta menjenuhkan ini. Pasti kau sungguh senang bisa meninggalkan permukaan bumi nan penuh benci ini, lalu kau bisa terbaring dengan tenang di dalam bumi, tanpa takut dilindas kesombongan sesama. Oh ya, apa di sana kira-kira ada kantor pos? seandainya kau sudah menemukannya, jangan lupa kirim surat buatku. Ceritakan segala yang terjadi di dalam sana. Kalau perlu berilah uang lebih pada sang kurir gaib biar suratnya cepat sampai. Selamat jalan, sampai jumpa.

Sang jenazah telah tertimbun tanah. Bunga-bunga bertabur di atas gundukannya, semua orang termasuk keluarga almarhum telah meninggalkan pemakaman. Tinggal aku sendiri, aku dan banyak nisan serta para penghuninya. Seraya menatapi luasnya, aku mulai berpikir, merenung dan membayangkan. Ah, suatu saat nanti aku akan jadi salah satu penghuninya. Aku tak sabar menanti datangnya jatahku. Aku ingin segera jadi bagian dari mereka. Tapi, kupikir-pikir lagi nanti dulu. Masih banyak yang belum kulakukan. Sebelum aku mati, aku masih memimpikan banyak hal, aku masih ingin memberikan sesuatu kepada orang-orang yang kusayangi. Sebelum aku mati aku ingin……

……celaka, kematianku telah mendekat. Aku yakin bahwa ajal akan segera menjemputku. Aku tak bisa menjelaskan dari mana aku mendapatkan berita ini. Tapi sepertinya perasaanku yang mengatakan bahwasanya mati akan segera menyergapku. Dari segala arah mata angin, dari langit, dari bawah bumi, dari mana-mana kematian bisa saja segera memeluk jasadku. Oh, tidak bagaimana ini? Bukannya aku hendak menolak ajal. Aku pasrah dan rela jika memang saatnya telah tiba. Tapi aku masih ingin melakukan banyak hal, aku masih muda dan juga energik. Aku masih dibutuhkan khalayak. Aku baru berumur 20 tahun. Masih perjaka tingting. Kematian, kenapa kau harus datang begitu cepat? Tunggulah barang beberapa tahun lagi, biar aku beruban dan wajahku keriput dahulu. Sekali lagi aku sulit memercayainya, memang tak ada yang bisa memastikan bahwa hari ini atau esok kematian akan datang. Tetapi sepertinya perasaanku kali ini bisa dipercaya.

Aku memang akan segera mati. Jadi aku harus segera menyelesaikan yang belum terselesaikan, mengakhiri apa yang belum berakhir, serta membagikan segalanya sesuatu yang belum sempat aku bagikan. Waktuku amat sempit, aku harus bergegas. Masih banyak tugas yang harus kujalankan. Baiklah, wahai sang ajal, jikalau memang kau hendak jemput aku sekarang. Beri aku kesempatan, aku butuh waktu untuk mengucapkan salam perpisahan pada dunia.

Aku telah meninggalkan kompleks pekuburan itu. Kini aku terduduk lunglai di kamar. Badanku serasa lemas dan otakku terasa kosong hampa. Bukannya karena takut akan datangnya mati, aku siap menghadapinya. Justru kematian telah lama kutunggu-tunggu. Cuma yang jadi masalah kenapa harus secepat ini? Saat ini aku belum menjelajah dunia sama sekali. Namun biar bagaimana kematian tak bisa ditawar lagi. Ya sudah, aku pasrah. Oke, aku sadar waktuku tak banyak. Degup jantungku serasa berpacu dengan hembusan angin. Di usiaku yang masih muda, banyak yang belum kuketahui dan belum kulakukan. Sebisa mungkin harus tercapai semua yang tadinya belum bisa tercapai.

Sebelum aku mati, aku harus membagi-bagikan semua milikku. Biar orang-orang terus mengenangku saat mereka menatap dan menyentuh barang-barang pemberianku. Semua yang hendak aku bagikan mulai aku kumpulkan. Dari barang-barang yang bersifat remeh sampai yang amat berharga. Buku-buku koleksi novelku akan kuserahkan buat si Citra yang kutu buku itu. Tas punggung dan juga alat-alat tulisku, hmmmm, mendingan kuberikan pada Joni. Tetangga sebelah yang masih duduk di bangku kelas 6 SD. Ia pasti sangat senang memperoleh tas baru namun seken ini.

Oh iya, kaset-kaset Nirvana dari album pertama sampai terakhir. Benda yang paling berharga menurutku. Satu keputusan yang cukup sulit, hendak kuberikan pada siapa? Sosok yang akan menerimanya harus seseorang yang benar-benar cinta musik dan punya idealisme tinggi. Biar ia bisa merawat kaset-kaset yang lumayan langka ini. Aha, tentu saja. Tak salah lagi, Veri. Ia anak band. Pasti ia akan dengan sangat senang hati menerima pemberianku. Waduh, masih banyak yang harus aku bagikan, masih banyak yang harus kulakukan.

Tapi waktuku semakin sempit. Aku mesti bergegas. Keringat dingin mulai bertetesan dari dahiku. Jantung berdegup lebih kencang, aku takut tak bisa menyelesaikan kewajibanku tepat pada waktunya. Lagi-lagi aku memohon padamu wahai sang ajal. Ulurlah waktu, sebelum aku mati aku ingin memulai apa yang belum aku mulai. Ah, semua barang kepunyaanku tidak akan selesai aku bagikan. Lebih baik keseluruhannya aku kumpulkan saja dalam kardus, lalu aku beri catatan surat wasiat agar isi di dalamnya diserahkan ke panti asuhan.

Lalu kira-kira apalagi yang harus kulakukan. Wah, rasa-rasanya selama aku hidup aku jarang beramal. Aku sering merasa iba menatap anak-anak kumal di pinggir jalanan yang menadahkan tangan. Tapi aku cuma sebatas iba, dan jarang memberi rupiah pada mereka. Di saat-saat terakhir ini aku harus beramal, aku harus menyumbangkan uangku yang terbatas buat bocah-bocah yatim-piatu. Segera kuraih telepon genggam di meja. aku cek pulsa yang tersisa, sisa pulsa yang anda miliki adalah senilai dua puluh lima ribu tiga ratus lima puluh rupiah . tinggal segitu sisa pulsaku. Aku ingat kalau operator selularku punya program infak lewat pengurangan pulsa. Sisa pulsaku aku habiskan, kukirimkan untuk infak via SMS. Sudah cukup, aku sudah beramal.

Badanku lemas sekali, tulang-tulang serasa gemeretak. Waktunya hampir tiba pikirku. Terlalu banyak yang belum kukerjakan. Sebelum mati aku ingin mencicipi sate ayam Cak Amat terlebih dahulu. Satenya paling terkenal di daerahku karena dibakar sempurna, dengan bumbu kacang yang sedap menggoda. Sebelum mati aku juga ingin mengirim e-mail kepada Angelina Jolie. Aku hendak menyatakan kekagumanku padanya terkait aktingnya di Tomb Raider yang luar biasa. Oh tidak, lalu bagaimana dengan teman-teman Chattingku? Mereka akan kehilangan Co-keren jika aku tak berpamitan.

Setelah aku hitung-hitung, serta mengambil segala risiko yang terjadi, aku memutuskan waktunya masih cukup. Sebelum sang ajal datang aku masih sempat melakoni semuanya. Aku berkejar-kejaran dengan mati, menuju tempat mangkal Cak Amat. Memesan sate ayam spesial 10 tusuk plus es teh. Kemudian lari ke Cybernet login ke Yahoo, menulis e-mail singkat ke Anjelina Jolie. Mengirim Offline messagges dengan isi “aku pergi meninggalkan dunia, selamat tinggal” lalu kukirim kepada semua teman-teman chat-ku di seluruh penjuru dunia. kemudian tak lupa aku kembalikan kartu member-ku pada penunggu warnet sekalian pamitan padanya, membuat ia mengerutkan dahi sekaligus terheran-heran saat aku bilang aku akan meninggalkan dunia ‘tuk selama-lamanya.

Waktu terus berputar, jantungku makin hebat berdetak. Mengapa jantungku berdetak, berdetaknya lebih kencang seperti genderang mau perang. Aku keluar dari ruangan warnet, menatap indahnya dunia, merasakan embusan angin yang sepertinya akan jadi angin terakhir yang bisa menyentuh kulitku karena di dalam sana pasti sedikit pengap dan tak ada lubang anginnya. Aku merasa sudah amat siap kini, sebelum aku mati aku telah laksanakan semua kewajiban, telah aku mulai apa yang harus aku mulai, dan telah aku akhiri apa yang harus berakhir. Serasa damai menyelubungi kalbu. Kematian hendak menjemputku secara pelan dan mengendap-endap.

Tetapi kok rasanya seperti masih ada yang mengganjal di hati, tapi apa ya? Rasa-rasanya masih ada yang tertinggal. Ada sesuatu hal yang terasa amat penting dan belum aku selesaikan. Kupikir dan telaah lagi jejak-jejak memori di otak. Aku jelajah segala rasa di hati dan mampus aku. Mampus aku walau pada kenyataannya aku memang akan segera mampus nanti. Ada masalah besar, aku lupa. Teramat lupa dan aku merutuk diriku sendiri kenapa aku bisa lupa. Aku belum menyatakan cintaku pada Nadya. Gadis yang 6 bulan belakangan ini membuatku susah tidur. Aku terus memendam perasaan cintaku karena aku menganggap waktunya belum tepat dan masih banyak hari esok untuk menyatakannya. Penyesalan memang datangnya belakangan.

Perasaanku mengatakan “kau akan segera mati, waktumu telah tiba.” Tidak, aku belum mau mati. Aku tak mau mati tanpa cinta, jelas-jelas sang ajal mendekat mengendap-endap hendak menyergapku dari belakang, dan aku berlari, berlari sekencang mungkin mencari Nadya. Ini hari Senin. Nadya pasti tengah duduk di meja kelasnya menerima mata kuliah yang disampaikan Pak Soebagyo.

Aku berlari menumpang angin, tak peduli semua orang menatapku dengan pandangan mereka. Ah mungkin mereka heran melihatku berlari-lari di tengah hari yang panas ini. Atau bisa jadi dan sangat mungkin mereka iba karena melihat aku tengah dikejar-kejar sang ajal yang menguntitku dari belakang. Mereka juga bisa melihatnya, orang-orang pun melihat kematian mendekatiku. Aku terus berlari, kampus tempatku dan Nadya menuntut ilmu sudah terlihat di depan mata. Nadya tunggu aku, aku akan menyatakan cinta padamu. Rasa yang terus kupendam ini akan aku utarakan padamu. Bersiaplah Nadya, terimalah cintaku.

Aku mengelap dahiku yang telah bersimbah peluh. Seraya berlari aku menoleh ke belakang, menilik siapa tahu sang ajal telah sangat dekat. Kaki yang terus berlari, aku mencari-cari. Mana kira-kira sang ajal? Terlalu lama aku menoleh ke belakang sampai tiba-tiba….Guuuubbrraaaakkk….Sepeda motor bebek itu menabrakku. Aku terpelanting dan terjatuh di jalan raya. Aku terbaring di antara kehidupan dan kematian. Orang-orang mengerumuniku, termasuk sang pengendara motor, dan lagi-lagi mereka cuma menatapku dengan tatapan itu. Antara heran karena aku berlari dengan menolehkan muka ke belakang, atau bisa jadi iba karena mereka melihat sang ajal sedang memeluk diriku. Oh, sia-sia semuanya. Aku akan menjadi makhluk yang mati tanpa cinta. Selamat tinggal Nadya, maafkan aku karena aku tak sempat nyatakan cinta padamu. Kau adalah yang terindah di hatiku. aku akan pergi. Pergi jauh, meninggalkan dunia.

Haha, aku tersenyum di tengah kerumunan orang-orang yang mengelilingiku. Aku akan segera terkubur dalam bumi. Ditimbun tanah yang dicangkul para penjaga kuburan. Sang ajal mendekat, terus mendekat, aku menggigit bibirku berharap bisa mengurangi kepanikan dalam jiwa dan diriku. Sudah sangat dekat sang mati, ah, padahal sebelum aku mati aku ingin menyatakan cintaku pada Nadya terlebih dahulu. Biar aku tak mati tanpa cinta. Tapi terlambat, sang ajal amat dekat, ia ada di hadapanku kini, sungging senyum kecil menggantung di bibirku. Aku pergi, selamat tinggal dunia, aku peerrrgggiiii…… “Le, cah bagus. Bangun Le, sudah siang iki lho. Kan kamu harus kuliah. Sayang kan kalau sampai enggak masuk kuliah. Wis awan le, ayo bangun-bangun!”

“Iya Bu”

***

Aku masih rajin mengunjungi pemakaman. Walau kini usiaku telah uzur dan berbau tanah. Aku mengunjungi pemakaman secara rutin, entah demi berziarah, mengirimkan doa serta penghormatan bagi mereka yang telah lebih dahulu dipanggil, atau untuk mencium wewangian bunga kamboja yang berguguran di pinggiran kompleks pemakaman. Atau sekadar melihat keriangan anak-anak yang bermain layang-layang di sana. Aku mengunjungi pemakaman agar supaya aku ingat mati, mati yang tak tentu kapan menggenggam ragaku. Kematian yang semoga terus menjagaku agar jadi makhluk yang arif nan bijaksana sampai aku menutup mata.

Masih tersisa senyuman di bibir wajahku yang mengeriput. Aku menerawang jauh ke dalam kalbu. Takutkah aku dengan mati? Takutkah aku dengan keputusanNya? Anak-anak yang tengah bermain layang-layang itu terlihat amat gembira. Aku mendekat pada mereka, “Nak, bolehkah Bapak pinjam layang-layangnya sebentar?”

“Ini Pak.”

Layang-layang itu diserahkan padaku. Aku coba menerbangkannya. Sebelum aku mati, aku ingin menerbangkan layang-layang ke angkasa. Haha, aku jadi ingat ketika kecil dulu aku selalu jadi juara adu layang-layang di pemakaman ini. Sebelum aku mati, aku ingin jadi juara lagi.[]

Baradatu, Way Kanan, Lampung, 18 November 2006

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.